SELAMAT DATANG DI WEBSITENYA SDN 2 DASAN TERENG
Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PENDIDIKAN

Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Bahkan Islam adalah agama yang memperhatikan masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan porsi yang sangat besar. Bahkan keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah merupakan materi pendidikan dan ilmu pengetahuan yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain maupun ideologi-ideologi lain. Sejarah mencatat bahwa bangsa Arab yang buta huruf, dengan pendidikan Islam yang khas, yang diterapkan oleh Rasulullah saw., telah berubah menjadi bangsa pelopor yang telah mampu menerangi dunia dan menjadi guru bagi dunia.

Dalam pergerakan kultural yang dilakukan oleh para Ulama, guru-guru pengajar Al Quran dan As Sunnah, serta hukum-hukum Syariah Islam, yang dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih satu abad, hampir 2/3 dunia lama telah mengenyam Islam sebagai agama, budaya, dan hukum, dan khasanah pengetahuan yang baru: tsaqafah Islamiyah. Berbagai bangsa yang beragam agama, adat-istiadat, dan sistem hukum dan perundangannya, menjadi satu umat, satu bahasa, satu hukum, dan satu negara: Islam. Peradaban Islam pun dikatakan sebagai jembatan peradaban yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan warisan Yunani sehingga dapat sampai kepada masa pencarahan bangsa-bangsa Eropa sehingga menjadikan perkembangan yang luar biasa seperti sekarang. Apa esensi pendidikan Islam, apa tujuannya, dan apa metodenya? Tulisan ini mencoba menguraikannya.

 

Esensi Pendidikan

Pendidikan adalah proses transfer nilai, pandangan hidup yang paling mendasar (aqidah), pemahaman-pemahaman hidup, dan berbagai pengetahuan yang menambah kesadaran peserta didik akan pandangan dan pemahamannya akan kehidupan (mafahim anil hayah) sehingga dia mampu mengambil jalan hidup yang benar, serta menambah kesadarannya tentang berbagai pemahamannya tentang benda-benda dan sarana-sarana hidup (mafahim anil asya) sehingga dia dapat meniti kehidupannya dengan benar.

Dengan demikian dalam perspektif Islam, pendidikan adalah transfer nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah, pandangan hidup Islam atau aqidah Islamiyah (keimanan), dan berbagai pengetahuan Islam (al ma’arif al Islamiyah) seperti tafsir, ulumul Qur’an, riwayat-riwayat hadits-hadits Nabi saw., ulumul hadits, fiqh, ushul fiqh, bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu shorof, siroh Nabi saw, dan lain-lain yang mempertebal pemahman para peserta didik sehingga tidak ada ide Islam yang lolos dari format pikirannya yang diharapkan juga menjadi pengendali tingkah lakunya. Selain itu, perlu berbagai ilmu pengetahuan dan serta ketrampilan teknologi untuk menambah kemampuan para lulusannya menjalani hidup dengan tetap berpegang kepada aqidah dan pemahaman hidupnya (mafahim anil hayah).

Diharapkan dengan proses pendidikan Islam, para peserta didik dapat ditingkatkan optimalisasi akal budinya sehingga mereka dapat mensyukuri nikmat Allah berupa pancaindera serta kalbu yang dimilikinya (lihat QS. An Nahl 78) dan tidak terjatuh ke dalam derajat yang lebih rendah dari binatang ternak. Allah SWT memperingatkan kita dengan firman-Nya:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al A’raf 179).

Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan Islam adalah membekali akal dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik itu mengenai aqidah dan cabang-cabangnya maupun hukum-hukum, baik yang pokok maupun yang cabang. Islam telah mendorong agar manusia menuntut ilmu dan membekalinya dengan pengetahuan. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(QS. Az Zumar 9).

Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan perbedaan kedudukan antara orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan orang-orang yang bodoh. Antara ilmu dan kebodohan itu masing-masing memiliki martabat dan kedudukan di mata masyarakat. Tentu saja orang yang berilmu pengetahuan menduduki tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang tak berilmu pengetahuan. Lebih-lebih bilamana orang yang berilmu pengetahua tadi juga beriman dan beramal shalih! Allah SWT menegaskan bahwa Dia SWT memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Dia SWT berfirman:

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. AL Mujadilah 11).

Rasulullah saw. mengabarkan betapa tingginya kedudukan orang-orang yang berilmu (ulama) yang mendapatkan kehormatan untuk memberikan syafaat bagi umat pada hari kiamat dengan idzin Allah. Beliau saw. bersabda:

“Ada tiga golongan yang akan meberikan syafaat (pertolongan di padang mahsyar) pada hari kiamat: (1) para Nabi; (2) para ulama; dan para syuhada.” (HR. Ibnu Majah dari Utsman bin Affan, lihat Fathul Kabir Jilid III hal 424).

Jelas dalam hadits di atas ulama diletakkan pada nomor urut kedua, yakni setelah para Nabi, lebih dulu daripada para syuhada, dalam hal memberikan syafaat dengan izin Allah SWT.

Dalam hadits yang lain Rasululla saw. menerangkan bahwa orang yang bergiat mencari ilmu akan mendapat fasilitas jalan ke sorga. Beliau saw. bersabda:

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan jalannya mencapai surga”.

Dan orang-orang yang melalaikan dirinya dari pendidikan Islam mendapat ancaman dari Allah SWT. Al Quran mengancam orang-orang yang telah memeluk Islam tapi tidak memahami islam dan Al Quran. Allah SWT mencap mereka dengan lafazh jahiliyah. Dia SWT befirman:

“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. (QS. Ali Imran 154).

Dan dengan bekal ilmu-ilmu Islam yang dimiliki secara sempurna, seorang muslim atau masyarakat muslim akan steril dari ide-ide maupun hukum-hukum kufur. Mereka yang yakin kepada Islam pastilah memandang Islam lebih tinggi dari yang lain dan hukum Islam lebih baik daripada hukum jahiliyah (lihat QS. Al Maidah 50). Dengan pandangan ini mereka hanya meresa qana’ah bila hukum yang mengatur interaksi di dalam kehidupan masyarakat adalah hukum syariah Islam, dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak silau oleh kemajuan sains dan teknologi Barat. Mereka memandang sains dan teknologi bersifat universal, bisa digali dan dimiliki oleh siapapun, bangsa manapun, dan penganut agama atau ideologi apapun. Mengadopsi sains dan teknologi Barat bukan berarti juga harus mengadopsi pemikiran, etika, hukum, ekonomi, dan budaya barat yang terkategori jahiliyah dalam pandangan Islam. Sains dan teknologi adalah alat dan kemudahan untuk dapat benar-benar menjalani hidup, sedangkan peradaban dan budaya serta syariah Islam adalah satu-satunya jalan hidup yang benar yang harus ditempuh oleh siapapun yang ingin selamat, baik dengan sains dan teknologi maupun tidak.

Metode Pendidikan

Untuk mencapai tujuan pendidikan di atas dan mendapat esensi pendidikan tersebut, maka metode yang dipakai adalah bukan sekedar transfer pengetahuan, tapi haruslah pembentukan dan pembinaan kepribadian. Dalam hal ini, kepribadian bukanlah sekedar pembentukan etika moral, tapi lebih luas dari itu.

Secara esensial, kepribadian (syakhshiyyah) adalah tersusun dari pola berfikir (aqliyah) dan pola pengendalian diri/jiwa (nafsiyyah). Untuk membentuk kepribadian, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menanamkan aqidah sebagai ide dasar (fikroh asasiyah). Inilah batas dimana orang tergolong mukmin ataukah kafir. Jika aqidah telah terbentuk melalui pendidikan, yakni melalui sentuhan-sentuhan akal maupun perasaan, baik dengan menggunakan ayat-ayat Al Quran yang menghubungkan keimanan dengan realitas diri manusia dan alam sekitarnya, maupun dengan uraian-uraian relitas yang dihubungkan dengan keimanan. Pada tahap ini pembentukan kepribadian baru taraf fondasi.

Selanjutnya aqidah Islamiyah yang dimiliki ditekadkan untuk senantiasa menjadi dasar berfikir dan memahami kehidupan. (Aqliyah Islamiyah). Sebagai contoh, ketika di masa Nabi putra beliau meninggal bersamaan dengan gerhana, lalu orang-orang menghubungkan bahwa kejadian gerhana itu lantaran matinya Ibrahim. Nabi saw. membantah hal itu dengan sabdanya: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana lantaran hidup dan matinya seseorang. Jika terjadi gerhana, maka sholatlah sampai hilang gerhana itu”.

Aqidah Islamiyah juga mesti ditekadkan untuk dipakai mengikat kehendak dan keinginan untuk berbuat, sehingga perbuatan seseorang yang dilakukan terikat dengan pemahaman hidup yang bersumber dari aqidah itu. Artinya, seorang yang telah tertanam dalam jiwanya bahwa riba adalah perkara yang diharamkan Allah (lihat QS. Al Baqarah 275-279), dia akan menolak bermuamalah riba sekalipun mendapatkan iming-iming bunga (interest/riba) dan berbagai fasilitas yang menggiurkan.

Penutup

Semakin kuat aqidah seseorang, semakin banyak pengetahuan Islam yang dia jadikan pemahaman hidupnya (mafahim anil hayah), perbuatannya semakin terjaga dan kedudukannya semakin mulia. Sekalipun demikian, pendidikan berlangsung seumur hidup, sebab gangguan dan godaan banyak sekali untuk menghancurkan hasil pendidikan kita yang terus-menerus itu. Orang yang hafal Al Quran terkadang lupa bahwa ada hukum-hukum yang membatasi tingkah lupa. Orang yang ingat akan ayat hukum yang membatasi tingkah lakunya terkadang tergoda oleh bujuk rayuan syetan, atau tak kuasa menolak gejolak nafsunya. Oleh karena itu, disamping pendidikan untuk individu, tidak boleh dilupakan pendidikan untuk masyarakat, agar hasil-hasil pendidikan kita terjaga oleh masyarakat yang senantiasa menjaga pemikiran, perasaan, dan peraturan Islam. Dan perpaduan itu semua akan memunculkan sifat taqwa dalam diri seseorang. Allah SWT mengajarkan kepada kita: Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkan ilmu kepada kalian! Wallahu a’lam bis shawab! . Semoga Bermanfaat

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar